Ada pertanyaan yang kerap bergema di antara umat beragama, seolah menjadi sebuah misteri yang perlu dijawab. “Apa betul orang Kristen menyembah berhala?” Sebuah pertanyaan yang lahir dari pandangan kasat mata, sering kali terhenti pada apa yang terlihat di permukaan. Di baliknya, tersimpan asumsi, keraguan, dan keinginan untuk memahami, meski kadang terbalut prasangka.
Pandangan ini biasanya muncul ketika seseorang melihat salib, patung Yesus, atau lukisan Maria di dalam gereja. Simbol-simbol itu bagi sebagian orang dianggap sebagai obyek penyembahan. Padahal, bagi umat Kristen, semua itu hanyalah pengingat akan kasih Tuhan dan karya keselamatan-Nya. Sama seperti peta yang menunjukkan arah, simbol itu bukan tujuan, melainkan penunjuk jalan.
Di banyak gereja, simbol-simbol iman hadir untuk menolong jemaat mengingat kisah penebusan. Patung Yesus yang memeluk anak kecil mengajarkan tentang kasih tanpa syarat. Salib mengingatkan tentang pengorbanan terbesar yang pernah terjadi di atas bumi. Semua ini bukanlah tuhan-tuhan kecil, tetapi jendela yang mengarahkan pandangan hati kepada Tuhan yang sejati.
Kesalahpahaman muncul ketika simbol disamakan dengan obyek penyembahan. Memang, dalam iman Kristen ada peringatan keras tentang penyembahan berhala. Alkitab mengajarkan bahwa penyembahan hanya layak diberikan kepada Allah. Dalam Keluaran 20:4-5, Tuhan berfirman, “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya.” Ayat ini justru menjadi pedoman bahwa Allah tidak diwakili oleh benda ciptaan manusia.
Namun, perlu dibedakan antara menyembah dan menghormati. Menyembah berarti memberi tempat tertinggi dalam hati hanya kepada Allah. Menghormati berarti menggunakan simbol sebagai pengingat, tanpa menempatkannya sebagai tuhan. Orang Kristen berdoa kepada Allah, bukan kepada patung yang ada di hadapan mereka.
Bayangkan seseorang yang membawa foto keluarganya di dompet. Foto itu bukanlah keluarganya, tetapi menjadi pengingat akan orang-orang yang dikasihi. Begitu pula patung atau lukisan dalam gereja hanyalah pengingat akan Pribadi yang jauh lebih besar dari apa pun yang dapat dibuat manusia. Inilah perbedaan yang sering kali luput dipahami oleh mereka yang melihat dari luar.
Jika kita menilai hanya dari apa yang terlihat, kita berisiko terjebak dalam kesimpulan yang keliru. Penyembahan dalam iman Kristen adalah relasi pribadi dengan Tuhan yang tidak terbatas oleh ruang atau benda. Simbol hanya menjadi jembatan yang membantu hati fokus kepada-Nya. Benda itu sendiri tidak memiliki kuasa atau kesucian yang berdiri sendiri.
Dialog antarumat beragama menjadi kunci untuk mengurai benang kusut ini. Dengan saling bertanya dan mendengarkan, prasangka bisa dihapus, digantikan oleh pemahaman yang benar. Kebenaran bukan untuk dipaksakan, tetapi untuk dibagikan dalam kasih. Hanya dengan demikian, setiap pihak dapat melihat dengan jernih apa yang sebenarnya diyakini.
Gereja sendiri mengajarkan bahwa Allah adalah Roh, dan barangsiapa menyembah Dia harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran. Ini berarti ibadah sejati tidak bergantung pada simbol fisik. Simbol dapat hilang, terbakar, atau hancur, tetapi iman kepada Tuhan tetap hidup di dalam hati.
Di balik tuduhan “menyembah berhala”, ada kesempatan untuk menjelaskan ajaran Kristen dengan rendah hati. Menjawab dengan emosi hanya akan memperlebar jarak, tetapi menjawab dengan pengertian dapat membuka hati. Tuhan Yesus sendiri mengajarkan untuk menjadi terang dunia, yang bersinar bukan hanya melalui kata-kata, tetapi juga melalui sikap dan perbuatan.
Orang Kristen percaya bahwa hanya ada satu Allah yang layak disembah, yaitu Allah Tritunggal: Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Kehadiran simbol dalam ibadah hanyalah alat bantu yang mengarahkan pikiran dan hati kepada-Nya. Ini sama sekali berbeda dengan konsep berhala yang dijadikan obyek penyembahan dan sumber kuasa.
Penyembahan berhala dalam Alkitab selalu dikaitkan dengan penggantian Allah oleh ciptaan. Tetapi dalam iman Kristen, simbol tidak pernah menggantikan Allah. Ia hanya menjadi tanda pengingat, sama seperti pelita yang menunjukkan jalan di malam hari. Kita tidak berhenti di pelita itu, tetapi terus berjalan menuju tujuan.
Ketika tuduhan itu muncul, umat Kristen memiliki tanggung jawab untuk meluruskannya. Tidak dengan kemarahan, melainkan dengan penjelasan yang sabar. Setiap kesempatan berdialog bisa menjadi ladang untuk menabur benih pengertian. Benih itu mungkin tidak langsung berbuah, tetapi akan tumbuh pada waktunya.
Pada akhirnya, menyembah berarti mengarahkan seluruh hidup kepada Tuhan yang hidup, bukan kepada benda mati. Orang Kristen tidak dipanggil untuk sujud pada ciptaan, melainkan untuk bersatu dengan Sang Pencipta. Simbol hanyalah tanda, dan tanda itu selalu menunjuk pada Dia yang menjadi sumber kasih dan kehidupan.