Pertanyaan tentang apakah orang Kristen harus disunat bukanlah hal baru. Sejak zaman para rasul, isu ini pernah menjadi perdebatan yang cukup panas di antara jemaat mula-mula. Latar belakangnya sederhana: sunat adalah tanda perjanjian antara Allah dan Abraham, yang kemudian menjadi tradisi bagi bangsa Israel. Namun, ketika Injil mulai menjangkau bangsa-bangsa lain, pertanyaan itu kembali mencuat.
Bagi orang Yahudi, sunat adalah identitas spiritual dan budaya. Itu bukan hanya tindakan fisik, tetapi simbol ketaatan kepada Allah. Maka ketika orang-orang non-Yahudi menerima Kristus, sebagian orang Yahudi menuntut mereka untuk disunat agar dianggap benar di hadapan Allah. Situasi ini menciptakan ketegangan di antara jemaat.
Rasul Paulus menghadapi pertanyaan ini dengan tegas. Ia menekankan bahwa keselamatan tidak bergantung pada sunat atau tidak sunat. Yang menentukan adalah iman kepada Yesus Kristus dan ketaatan hati kepada-Nya. Hal ini mengubah fokus dari tanda fisik menjadi realitas rohani.
Dalam Galatia 5:6 tertulis, “Sebab bagi orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih.” Ayat ini menjadi fondasi kuat bahwa sunat bukan lagi syarat keselamatan bagi orang percaya. Iman yang hidup dan nyata jauh lebih penting daripada tanda lahiriah.
Sunat dalam Perjanjian Lama memang menjadi tanda perjanjian, tetapi Perjanjian Baru memperkenalkan konsep “sunat hati.” Sunat hati adalah karya Roh Kudus yang mengubah hati manusia dari keras menjadi taat. Dengan demikian, tanda rohani ini berlaku bagi semua orang percaya, tanpa memandang kebangsaan atau latar belakang.
Bayangkan hati kita seperti tanah yang keras. Roh Kudus bekerja seperti petani yang membajak, memotong bagian yang keras agar benih firman dapat tumbuh. Sunat hati menghilangkan keangkuhan, kesombongan, dan pemberontakan terhadap Allah. Proses ini jauh lebih mendalam daripada sekadar tindakan fisik.
Sejarah mencatat bahwa keputusan tentang sunat bagi orang non-Yahudi diambil dalam Konsili Yerusalem. Para rasul dan penatua berkumpul untuk membahas masalah ini secara terbuka. Keputusan akhir menyatakan bahwa orang non-Yahudi tidak diwajibkan untuk disunat, melainkan diminta menjauh dari praktik-praktik yang bertentangan dengan iman.
Keputusan itu bukanlah kompromi sembarangan, melainkan hasil dari pimpinan Roh Kudus. Gereja mula-mula memahami bahwa Injil bukanlah beban tambahan, tetapi kabar baik yang membebaskan. Keselamatan adalah anugerah, bukan hasil dari perbuatan atau tradisi tertentu.
Meski demikian, ada orang percaya yang tetap memilih sunat karena alasan budaya atau kesehatan. Dalam hal ini, Paulus tidak melarang, tetapi menegaskan bahwa tindakan itu tidak memberikan nilai tambahan di hadapan Allah. Yang terpenting adalah motivasi hati, bukan sekadar mengikuti adat.
Di beberapa tempat, sunat bahkan menjadi kewajiban sosial atau hukum negara. Orang Kristen yang tinggal di wilayah seperti itu mungkin tetap melakukannya demi alasan praktis. Namun, keputusan itu harus dipahami sebagai pilihan pribadi, bukan tuntutan rohani.
Inti dari ajaran Perjanjian Baru adalah bahwa sunat fisik tidak membawa keselamatan. Tanpa iman yang sejati, sunat hanyalah tindakan luar yang tidak mengubah hati. Sebaliknya, tanpa sunat fisik, seseorang tetap dapat berkenan kepada Allah jika hatinya taat.
Rasul Paulus bahkan pernah berkata bahwa jika seseorang bersunat demi menyenangkan manusia atau memperoleh keselamatan, ia telah kehilangan makna kasih karunia. Kristus telah menyelesaikan seluruh persyaratan hukum untuk membawa kita kepada Bapa. Tidak ada ritual tambahan yang bisa melengkapi karya salib itu.
Bagi sebagian orang, konsep ini terasa sulit diterima karena tradisi telah begitu melekat. Namun, Injil mengundang kita untuk melihat esensi di balik setiap simbol. Sunat hati adalah tanda sejati bahwa kita adalah milik Allah, tanda yang tidak bisa dilihat mata manusia, tetapi nyata di hadapan-Nya.
Ketika hati kita disunat, kita menjadi peka terhadap kehendak Allah. Kita lebih mudah mengasihi, mengampuni, dan menaati perintah-Nya. Sunat hati membawa kita lebih dekat kepada Tuhan daripada sunat fisik yang hanya mengubah tubuh.
Gereja hari ini memegang prinsip bahwa setiap orang yang percaya kepada Kristus telah menjadi bagian dari perjanjian baru. Perjanjian ini dimeteraikan bukan dengan pisau, tetapi dengan darah Kristus yang menebus dosa. Inilah tanda yang berlaku bagi semua orang percaya di segala bangsa.
Dengan demikian, pertanyaan “Apakah orang Kristen harus sunat?” mendapatkan jawaban yang jelas. Secara rohani, tidak ada kewajiban untuk itu. Namun, secara budaya atau kesehatan, keputusan tetap ada di tangan masing-masing.
Kita tidak lagi hidup di bawah hukum yang mengikat, tetapi di bawah anugerah yang memerdekakan. Anugerah itu mengajarkan kita untuk hidup kudus, bukan karena takut dihukum, tetapi karena kita telah mengasihi Tuhan. Dan kasih itu lahir dari hati yang telah diubah oleh-Nya.
Jadi, apakah orang Kristen harus sunat? Jawabannya: tidak, jika yang dimaksud adalah syarat keselamatan. Tetapi ya, jika hati kita telah disunat oleh Roh, sebab itulah tanda sejati bahwa kita adalah anak-anak Allah.
Di akhir segalanya, yang Allah lihat bukanlah tanda di tubuh kita, melainkan sikap hati kita. Sunat hati adalah bukti bahwa kita telah menyerahkan hidup kepada-Nya sepenuhnya. Dan itulah yang membuat kita benar di hadapan-Nya.